Sabtu, 24 April 2010

Hachiko si anjing setia


This is a true story in Japan.
Hachikō adalah seekor anjing yang setia menantikan tuannya. Kisah penantian ini sangat mengharukan banyak orang khususnya masyarakat Jepang. Terinspirasi dari kisahnya maka dibuatlah sebuah patung untuk mengenang kesetiaan Hachikō di depan Stasiun Shibuya, Tokyo.

Tempat ini pun menjadi segera menjadi meeting point yang penting, juga menjadi tempat para pasangan bertemu di Shibuya. Seolah-olah pasangan ini ingin menyatakan bahwa mereka juga akan setia seperti Hachikō yang setia.


Pertama kali saya membaca kisah ini beberapa tahun yang lalu di sebuah koran ibu kota, dan sanggup mengharukan hati dan membasahi mata saya. Kemudian saya lupa dengan kisah ini sampai seseorang sahabat memforward kisah ini kembali kira-kira sebulan yang lalu. Dan anehnya walau sudah pernah membacanya, hati saya tetap terharu (bahkan saat menulis artikel ini, hati saya masih tersentuh). Sambil bingung, kok setelah bertahun-tahun, ceritanya beredar kembali yah? Ternyata hal ini penyebabnya.

Seekor anjing lahir tanggal 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Ōshinai-go, anjing jenis Akita Inu. anjing ini kemudian dipungut dan menjadi milik keluarga Ueno. Profesor Ueno sangat mencintai anjing kecil ini dan menamainya Hachi, sebuah kata Jepang yang berarti 'angka 8’, yang merepresentasikan good fortune, comfort and confidence.

Profesor Hidesaburō Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo, waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun. Profesor Ueno adalah pecinta anjing. Sebelumnya pernah beberapa kali memelihara anjing Akita Inu, namun semuanya tidak berumur panjang.

Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.
Dan sebelum berpisah biasanya Prof Ueno akan menepuk-nepuk dan membelai dengan lembut kepala Hachi, dan berjanji bahwa ia akan kembali sore harinya. Dan pada sore harinya Hachi akan kembali ke stasiun menantikan tuannya kembali, dan bersama-sama berjalan kembali ke rumah.

Kebiasaan itu berjalan selama 16 bulan, sampai suatu ketika terjadi hal yang tidak biasa.....

Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia karena serangan stroke yang fatal. Dan atas keputusan keluarga, jenazahnya tidak dibawa ke Tokyo, tetapi langsung dibawa ke kampung halamannya untuk dimakamkan di sana.
Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, dilakukan upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) pada malam hari 25 Mei 1925, dan Hachi masih tetap tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal.
Ia pergi juga ke stasiun untuk menjemput majikannya. Dan ternyata tuannya tetap tidak kunjung kembali.

Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno. Yae ternyata tidak pernah dinikahi secara resmi. Mulai saat itu Hachi pun berpindah-pindah kepemilikan. Tapi ternyata tidak ada yang menyayanginya seperti Profesor Ueno. Hachi tidak pernah menemukan kasih yang mampu menggantikan kasih Profesor Ueno.
Itu mungkin yang menjadi penyebab mengapa Hachi tidak dapat melupakan majikannya.

Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi (yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno). Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya. Dan anjing setia ini sering mendapat perlakuan kasar di stasiun tsb.

Pada sore hari, kereta api sudah memasuki stasiun, dan penumpang satu persatu mulai turun, tetapi sampai penumpang terakhir meninggalkan stasiun, Profesor Ueno tetap tidak muncul. Hachi yang tidak pernah tahu bahwa tuannya sudah tidak berada di muka bumi ini lagi, tetap menanti dengan setia. Setiap hari, dari pagi sampai malam hari, sampai kereta terakhir meninggalkan stasiun, Hachi setia menunggu.
Menemukan kenyataan bahwa ternyata tuannya belum kembali juga pada hari itu, dengan lunglai ia meninggalkan stasiun, dan siap untuk datang keesokan harinya lagi.

Tidak jelas kemana Hachi pergi setelah keluar dari stasiun, tapi keesokan harinya Hachi mengejutkan banyak orang ketika ia muncul di pagi hari pada jam yang sama Prof Ueno berangkat kerja. Kembali, Hachi menanti seharian sampai kereta terakhir meninggalkan stasiun di malam harinya.

Akhirnya setiap pengguna kereta api di Shibuya mulai mengetahui kisah penantian Hachi. Mereka tahu bahwa penantian Hachi adalah penantian yang sia-sia, tetapi banyak orang yang mulai tersentuh dengan kesetiaan dan pengharapannya, serta rasa hormat kepada majikannya.


Selama 7 tahun kisah Hachi menunggu majikan di stasiun ini mulai beredar dari mulut ke mulut, sampai pada tahun 1932, sampai kepada penulis Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian anjing Jepang.

Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saitō menulis beberapa artikel tentang kisah sedih Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya rōken monogatari ("Kisah anjing Tua yang Tercinta"). Juga ada artikel dengan judul "A Faithful Dog Awaits Return of Master Dead for Seven Years".


Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikannya. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya.


Sekitar tahun 1933, kenalan Saitō, seorang pematung bernama Teru Andō tersentuh dengan kisah Hachikō. Andō ingin membuat patung Hachikō.
Diprakarsai oleh Andō, diselenggarakanlah acara pengumpulan di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar 3.000 (wow!!!) penonton hadir untuk melihat Hachikō.

Patung perunggu Hachikō akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachikō bersama sekitar 300 hadirin.
Andō juga membuat patung lain Hachikō yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kōjun.

Kehidupannya yang mulai berubah, (tidak seperti dulu lagi selalu mendapat perlakuan kasar), tidak membuat Hachi melupakan tuannya. Walau kini ia disayangi banyak orang, Hachi tetap setia menanti di stasiun Shibuya.

AKHIR SEBUAH PENANTIAN
8 Maret 1935, Hachi ditemukan sudah tidak bernyawa setelah 10 tahun dalam penantian. Berita kematiaanya segera menyebar, dan Hachi diberikan upacara pemakaman layaknya seorang manusia dengan ritual Budha yang berlangsung selama
49 hari (!!!).

Dan nama Hachi secara resmi diubah menjadi Hachikō (akhiran 'kō' dalam kebudayaan Jepang, adalah sama seperti 'sir’ di Inggris).

Hachikō dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachikō diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Ueno, Tokyo

Pada 8 Juli 1935, patung Hachikō yang kedua didirikan di kota kelahiran Hachikō di Ōdate, tepatnya di di depan Stasiun Ōdate. Patung tersebut dibuat serupa dengan patung Hachikō di Shibuya. Dua tahun berikutnya (1937), kisah Hachikō dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat di Jepang. Judulnya adalah "On o wasureruna
(Balas Budi Jangan Dilupakan)".

Tidak panjang pengalaman Hachi berjalan bersama tuannya.
Tapi pengalaman yang hanya 16 bulan ini, mampu membuat Hachi bertahan dalam penantian selama 10 tahun. Bahkan sampai matipun, ia mati dalam penantian. Suka ataupun duka yang dialaminya tidak mengubahkan kesetiaanya. Perlakuan kasar yang diterimanya di stasiun Shibuya, tidak mampu memudarkan semangat penantiannya. Bahkan ketika tiba-tiba semua orang berbalik menyayanginya (bahkan ada yang take advantage darinya),
ia tidak pernah melupakan tuannya. Tujuan hidupnya adalah bertemu dengan tuannya.


Bagi yang ingin menonton film nya, silahkan donwload
hachiko

subtitle indonesia hachiko

Kamis, 15 April 2010

My Friend...

Dear my friend,

My Friend, Aku ga berharap jadi orang terpenting dalam hidupmu..Karena itu permintaan yang terlalu besar..Aku cuma berharap, suatu hari nanti.. Kalau kamu mendengar nama ku, Kamu tersenyum & bilang : Dia Sahabatku...."

Selasa, 13 April 2010

Mungkin masih banyak sekali yang belum tau apa itu Neobux walaupun ketika bermain atau visitasi ke sebuah blog terdapat banner mengenai Neobux.

Penasaran dengan apa itu Neobux mungkin membawa anda secara tidak sengaja dibawa oleh om Google dari hasil pencarian memasuki ranah blog aneh ini. Lalu supaya tidak bertele-tele mengenai apa itu Neobux, mari saya jelaskan kepada anda penjelasan mengenai apa itu Neobux.

Neobux merupakan sebuah situs PTC, dan PTC itu sendiri berarti paid to click yang mempunyai definisi situs yang akan membayar kepada user / member untuk membaca iklan mereka dalam jangka waktu yang telah ditentukan sampai terdapat notice tulisan yang menyatakan iklan kita sah dibayar, rata2 membayar $0.01 per iklan.

Mengapa harus Neobux? Waktu telah membuktikan bahwa situs ini masih sehat karena pembayaran yang terus mereka lakukan tanpa mengalami kendala. Di saat berbagai situs PTC ambruk dan menjadi scam, malahan situs ini makin menyedot pemakainya, bahkan boleh dikatakan kalau situs ini telah menjadi nomor satu di dunia dalam peringkat situs PTC paling sehat saat ini.

Di samping website yang membayar kita untuk mengclick iklan mereka, ada beberapa situs lainnya yg masih dalam kondisi lumayan sehat yaitu Bux.Gs dan Freebirdbux walaupun saya tidak memberikan garansi 100%. Jika kamu punya Paypal atau AlertPay, kamu bisa langsung mendaftarkan diri disini, jika masih belum punya, sebenarnya kamu masih tetap bisa mendaftarkan diri dulu sembari membikin akun Paypal baru.

Bagi yang kesulitan untuk membikin Paypal karena tidak memiliki kartu kredit, bisa pergunakan VCC dari putraeka.org atau chat langsung dengannya di YM hub.putraeka jika masih ada keragu2an dan ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut, bisa hubungi email saya atau tinggalkan komentar di bawah ini, bisa juga Add YM saya dan chat
ketika saya online.

Jumat, 09 April 2010

Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu

Copas dari teman sebelah.

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!" Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku." Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah." Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.

Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah.

Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: "Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"

Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. "Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!"

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.

Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.

Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.

Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"

Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.

Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"

Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.

Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang."

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.

Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.

Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!

Amin, alhamdulillah